- Menteri P2MI Tanam Pohon Gaharu di Mapolda Riau, Simbol Perlawanan Terhadap Perdagangan Orang
- Polda Riau Ungkap Sindikat TPPO, Menteri Karding: Kejar dan Adili Otak Penyelundupan
- Lemdiklat Polri Gelar Sosialisasi Penjaringan Minat dan Bakat Beasiswa S2/S3 LPDP di Polda Riau
- Satgas Gakkum Operasi Patuh LK 2025 Jaring 75 Pelanggaran Lalu Lintas dengan ETLE Mobile
- Dukung Ketahanan Pangan, Lapas Pekanbaru Panen Raya Melon Sebanyak 62 Kg
- Hari Ke 3 Operasi Patuh LK 2025, Ditlantas Polda Riau Intensifkan Sosialisasi dan Edukasi Keselamatan Lalu Lintas
- Telah Berkoordinasi Dengan KBRI, Menteri Karding Pastikan Kabar Jepang Tutup Akses Bagi PMI itu Hoaks!
- Pangkas Angka Non-Prosedural, Menteri Karding Gratiskan Bea Masuk Barang Pekerja Migran Kembali ke Indonesia
- Ajak Generasi Muda Tak Takut Jadi Pekerja Migran, Menteri P2MI: Gaji Besar, Ilmu Bertambah
- Menteri P2MI RI Kunjungi Universitas Islam Riau, Dorong Mahasiswa Ambil Peluang Kerja di Luar Negeri Secara Aman
Tolak Relokasi, Enam Desa Gagas Solusi Hijau untuk Menjaga Keberlanjutan Hutan Riau

Keterangan Gambar : Foto : fn Indonesia
FN Indonesia Pekanbaru – Puluhan ribu warga yang tinggal di enam desa di Taman Nasional Tesso Nilo menghadapi ancaman relokasi paksa dari pemerintah. Mereka dituduh sebagai perambah kawasan Taman Nasional, meskipun selama bertahun-tahun telah menetap dan membangun kehidupan di daerah tersebut. Warga diminta untuk merelokasi diri sebelum 22 Agustus 2025.
Selama bertahun-tahun, warga desa ini telah mendirikan rumah, membesarkan anak-anak, serta mendirikan berbagai fasilitas umum seperti sekolah, masjid, pura, dan gereja. Namun, keberadaan mereka kini dipertanyakan, karena kawasan tempat mereka tinggal sebelumnya ditetapkan sebagai Taman Nasional.
“Kami bukan musuh hutan, kami bagian dari alam yang kami jaga,” kata Abdul Aziz, Juru Bicara Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan Riau.
Baca Lainnya :
- Ribuan Pelari Mulai Serbu Gelanggang Remaja untuk Ambil Racepack Riau Bhayangkara Run 20250
- Polda Riau Siap Gelar Bhayangkara Run 2025 Diikuti 13.079 Peserta, Dengan 2.550 Personel Keamanan Maksimal0
- BAM DPR RI Tinjau Penanganan Terkait Masyarakat di Taman Nasional Tesso Nilo0
- Satlantas dan Tim Raga Polresta Pekanbaru Amankan 79 Sepeda Motor dalam Patroli Blue Light0
- Gandeng BNN, Lapas Pekanbaru Gelar Tes Urine bagi Petugas dan Warga Binaan0
Ia menjelaskan, kawasan yang kini disebut Taman Nasional itu dulunya merupakan wilayah bekas konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Menurut Aziz, dari awal, keberadaan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) itu sangat penting, terutama di Riau yang dikenal memiliki lahan luas. Namun ketika Penertiban itu sampai ke Taman Nasional dan masyarakat disebut sebagai perambah, membuat mereka terkejut.
Dia menjelaskan bahwa masyarakat di sana harus sudah relokasi mandiri dari sana tanpa kami dikasi kesempatan untuk melakukan pembelaan diri secara hukum. Bagaimana proses hadirnya areal yang kami tempati itu menjadi Taman Nasional, juga tidak dikaji ulang. Padahal sedari awal proses hadirnya Taman Nasional itu telah bermasalah. Namun itu seolah enggak ada dan kami yang dipersalahkan, ” ujarnya.
"Hasil inventarisasi BKSDA tahun 2006 menunjukkan bahwa kawasan yang sekarang disebut Taman Nasional bukan lagi hutan primer. Dari data itu, hutan dengan kerapatan kayu di atas 70 persen hanya tersisa sekitar 10 ribu hektare. Sementara yang berkepadatan 40–70 persen hanya 8 ribu hectare,"katana.
Kalau merujuk pada PP 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Nasional, Taman Nasional itu harusnya masih alami. Tapi kawasan ini dulunya adalah HPH PT Dwi Marta, lalu diteruskan oleh Inhutani. Bahkan saat ditunjuk menjadi Taman Nasional, sudah ada hampir 4 ribu hektare yang dikuasai masyarakat,” jelasnya.
Menurutnya, dalam proses penataan batas kawasan hutan, semestinya hak-hak masyarakat yang telah lebih dulu ada di sana, harus dikeluarkan dari kawasan. Ini malah diambil.
“Sama seperti penunjukan Taman Nasional tahap pertama, penunjukan perluasan Taman Nasional di tahun 2009, arealnya juga bukan hutan murni lagi, karena sebelumnya bekas HPH PT Nanjak Makmur. Hasil identifikasi Balai Taman Nasional dan WWF tahun 2010 bahkan menyebut lebih dari 28 ribu hektare areal yang ditunjuk menjadi Taman Nasional itu, sudah dikuasai oleh masyarakat,” tambahnya.
“Areal itu bekas HPH, belakangan, kami yang tinggal di sana dikatakan perambah dan pendatang yang merusak hutan. Sangat menyakitkan dituduh seperti itu. Orang yang tak tahu sejarah Taman Nasional itu akan percaya saja. Sebab dalam benak mereka, itu Taman Nasional, hutan rimba, padahal, sudah bekas tebangan perusahaan” tuturnya.
Aziz menegaskan bahwa Taman Nasional itu baru memiliki batas definitif pada tahun 2011. Mestinya hak-hak masyarakat yang sudah ada, dikeluarkan dari areal yang jadi Taman Nasional. Tapi itu tidak dilakukan. Akhirnya masyarakat terperangkap.
Ia juga menyoroti klaim bahwa kawasan tersebut adalah paru-paru dunia. “Kami anggap itu tidak benar. Dari data Direktorat Jenderal KSDAE, yang diakui internasional sebagai paru-paru dunia di Riau itu adalah Cagar Biosfer Giam Siak Kecil, Bukit Batu, bukan Taman Nasional ini. Itu ditetapkan dalam konvensi di Jeju, Korea Selatan, tahun 2019,” ucapnya.
Aziz menegaskan, masyarakat bukan tidak cinta lingkungan. Bahkan mereka sudah menanam pohon di sana. Bahkan Ia menyindir program penghijauan satu juta pohon yang selama ini sering digaungkan.
"Coba dilihat, pohonnya ada di mana? Jangan masyarakat disuruh tanam satu-dua pohon, tapi pemerintah malah kasih izin menebangi hutan puluhan ribu hektare ke korporasi," sebutnya.
Aziz menyebutkan enam desa yang diklaim berada di kawasan Taman Nasional yaitu Bukit Kusuma, Lubuk Kembang Bunga, Segati, Gondai, Air Hitam, dan Bagan Limau. Jumlah jiwa yang terdampak mencapai sekitar 25 ribu orang. Di Desa Lubuk Kembang Bunga saja, tiga dusunnya sudah dihuni lebih dari 10 ribu orang.
“Di sana sudah ada fasilitas ibadah dan sekolah, semuanya dibangun swadaya. Tapi kini kami dipaksa memilih antara keluar atau bertahan. Kalau keluar, mau ke mana? Apakah ini tidak akan menambah pengangguran atau gelandangan?," terangnya.
Ia menegaskan bahwa masyarakat siap menjaga hutan bersama pemerintah. “Kalau memang klaimnya masyarakat menguasai 60 ribu hektare lahan yang disebut Taman Nasional itu, ada lahan luas milik negara yang jadi konsesi perusahaan di dekat Taman Nasional. Ambil itu 75 ribu hektare, biar kami hijaukan, hutankan. Kami siap menyisihkan uang sawit kami Rp500 ribu per hektare per tahun. Itu setara Rp30 miliar per tahun atau Rp2,5 miliar per bulan. Itu cukup untuk penghijauan. Tak hanya menghijaukan, kami juga siap menjaganya," tegasnya.
Usulan ini, kata Aziz, sudah disampaikan dalam pernyataan tertulis saat diundang oleh Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI pada 2 Juli lalu. “Kami bukan sekadar menuntut hak, tapi juga memberi solusi," ungkapnya.
Sebagai bentuk keseriusan, masyarakat bahkan berseloroh ingin didirikan enam pos militer untuk menjaga hutan yang dihadirkan oleh masyarakat secara swadaya itu.
“Biarkan kami yang bangun rumah bagi gajah dan satwa lain tak jauh dari tempat kami tinggal. Insya allah kami bisa dan mari kita jaga bersama," pungkasnya.