- Menteri P2MI Tanam Pohon Gaharu di Mapolda Riau, Simbol Perlawanan Terhadap Perdagangan Orang
- Polda Riau Ungkap Sindikat TPPO, Menteri Karding: Kejar dan Adili Otak Penyelundupan
- Lemdiklat Polri Gelar Sosialisasi Penjaringan Minat dan Bakat Beasiswa S2/S3 LPDP di Polda Riau
- Satgas Gakkum Operasi Patuh LK 2025 Jaring 75 Pelanggaran Lalu Lintas dengan ETLE Mobile
- Dukung Ketahanan Pangan, Lapas Pekanbaru Panen Raya Melon Sebanyak 62 Kg
- Hari Ke 3 Operasi Patuh LK 2025, Ditlantas Polda Riau Intensifkan Sosialisasi dan Edukasi Keselamatan Lalu Lintas
- Telah Berkoordinasi Dengan KBRI, Menteri Karding Pastikan Kabar Jepang Tutup Akses Bagi PMI itu Hoaks!
- Pangkas Angka Non-Prosedural, Menteri Karding Gratiskan Bea Masuk Barang Pekerja Migran Kembali ke Indonesia
- Ajak Generasi Muda Tak Takut Jadi Pekerja Migran, Menteri P2MI: Gaji Besar, Ilmu Bertambah
- Menteri P2MI RI Kunjungi Universitas Islam Riau, Dorong Mahasiswa Ambil Peluang Kerja di Luar Negeri Secara Aman
Terlindas Gugatan PTPN 140 Miliar, Petani KOPPSA-M Suarakan Keadilan di Pengadilan Tinggi Riau

Keterangan Gambar : Foto : fn Indonesia
FN Indonesia Pekanbaru – Ratusan massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Riau Menggugat (ARRM), bersama Koperasi Produsen Petani Sawit Makmur (KOPPSA-M) Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, mendatangi Pengadilan Tinggi Riau pada Senin (10/6) untuk menyuarakan tuntutan keadilan atas konflik panjang terkait pengelolaan kebun sawit oleh pihak PTPN IV.
Aksi itu dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap putusan Pengadilan Negeri Bangkinang terkait gugatan wanprestasi terhadap Koperasi Produsen Sawit Makmur (Koppsa-M) senilai Rp140 miliar yang digugat oleh pihak PTPN V di Pengadilan Bangkinang.
Sebanyak 825 petani KOPPSA-M di Desa Pangkalan Baru, tengah memperjuangkan hak mereka atas lahan seluas 1.650 hektare yang menjadi sumber penghidupan utama bagi ratusan keluarga petani di wilayah tersebut.
Lahan yang digarap oleh para petani KOPPSA-M tersebut saat ini tengah menjadi sorotan dan pusat konflik hukum yang kompleks, menyusul ketidaksesuaian pengelolaan dan belum adanya serah terima resmi dari pihak pengelola awal. Dari total luas lahan 1.650 hektare, sekitar 622 bidang telah bersertifikat hak milik, sementara sisanya masih berstatus SKGR (Surat Keterangan Ganti Rugi).
Muklis, salah satu anggota KOPPSA-M, menyatakan bahwa masalah ini sudah berlangsung cukup lama dan sangat merugikan petani. Ia menjelaskan bahwa total nilai kerugian yang dibebankan kepada petani mencapai Rp140 miliar, yang menurutnya tidak masuk akal dan tidak dapat ditanggung oleh petani.
“Kalau itu dibebankan ke petani, bagaimana kami bisa membayarnya, Karena itu, kami minta penyitaan aset petani dibatalkan,” tegas Muklis, Kamis, 12/6/2025.
Muklis juga menambahkan bahwa jika permintaan penyitaan tetap dilakukan oleh pihak PTPN IV, maka seolah-olah tidak ada lagi keadilan bagi petani. "Kami datang ke sini mengadu kepada hakim, berharap majelis hakim mempertimbangkan apa yang kami sampaikan," lanjutnya.
Ia berharap pemerintah, termasuk Presiden, bisa melihat penderitaan petani dan berpihak kepada mereka. “Kami ini petani yang ingin sukses, ingin maju. Tapi malah diperlakukan seperti ini,” tambahnya.
Alek Candra, Perwakilan KOPPSA-M lainnya menjelaskan bahwa mereka melakukan upaya banding karena putusan sebelumnya dinilai tidak sesuai dengan fakta lapangan. Menurutnya, pihak PTPN IV yang menggugat seharusnya justru menjadi pihak yang digugat, karena tidak menjalankan amanah sebagai “bapak angkat” dalam skema kerja sama kebun plasma.
Baca Lainnya :
- Sat Resnarkoba Polres Siak Tangkap Remaja 18 Tahun Diduga Bandar Sabu0
- Peringati Hari Bhayangkara ke-79, Polres Dumai Sapa Warga Pesisir Lewat Layanan Kesehatan di Atas Kapal0
- Aksi Massa di PT SSL Tumang, Kapolres Siak Antisipasi Kericuhan dengan Penjagaan Ketat0
- Kantor PT Seraya Siak Lestari di Siak Dibakar Massa, Diduga Dipicu Isu Perebutan Lahan0
- Taman Nasional Tesso Nilo Resmi Disita Negara, 50.000 Hektar Sawit Ilegal Ditertibkan0
“Kami tidak pernah menerima atau memegang uang pinjaman. Semua dikelola oleh PTPN IV, tapi saat kebun tidak jadi, justru kami yang digugat,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa secara logika dan hukum, jika dalam waktu empat tahun kebun tidak juga diserahterimakan dari pihak pengelola ke petani, maka biaya selanjutnya bukan menjadi tanggung jawab petani. Dalam kasus ini, hingga 22 tahun berlalu, belum ada proses serah terima resmi.
“Dari total 1.650 hektare kebun, berdasarkan hasil investigasi Dinas Perkebunan Kampar, yang layak hanya 300 hektare. Sisanya rusak dan harus direplanting itulah kondisinya,” jelasnya.
Aksi unjuk rasa itu sendiri mendapat perhatian dari berbagai kalangan, salah satunya pemerhati sekaligus Ketua Independen Pembawa Suara Transparansi (Inpest) Ir Marganda Simamora.
Ia menilai putusan Pengadilan Negeri Bangkinang yang dipimpin Hakim Soni Nugraha itu seharusnya bisa disikapi secara bijaksana untuk mengakhiri persoalan berkepanjangan konflik kemitraan antara Koppsa-M dengan PTPN IV Regional III.
"Keputusan ini seharusnya bisa menjadi awal yang baru untuk kemitraan yang lebih positif antara Koppsa-M dan PTPN IV sebagai bapak angkat," kata dia dalam keterangannya di Pekanbaru, Kamis (12/6/2025).
Ia mengatakan bahwa konflik ini terlalu berlarut-larut akibat ulah serta egoisme pengurus. "Dan yang menjadi korban adalah petani asli desa sendiri. Kenapa saya bilang begitu, karena saat ini tidak banyak petani asli di sana. Mayoritas telah berpindah tangan akibat jual beli lahan, seperti yang disampaikan pada fakta-fakta persidangan," ujarnya.
Persoalan yang terjadi di Koppsa-M tidak lepas dari ketidaprofesionalan kepengurusan internal dari sejak terbentuknya koperasi sampai saat ini.
Ia mengatakan sejak awal telah mengikuti persolan Koppsa-M, termasuk memperhatikan ulah para pengurusnya yang sama sekali tidak menunjukkan itikad baik melaksanakan kewajibannya membayar cicilan, sementara PTPN sebagai corporate guarantee sebagai penjamin ke lembaga perbankan harus terus menutupi cicilan yang berjalan.
Dia menilai, klaim kebun gagal yang selama ini disampaikan oleh Kopsa-M atas penilaian Disbun Kampar sangat tidak tepat,
"Kalau kita simak dari fakta persidangan juga kemarin dibantah sama tim penilainya sendiri," terangnya.
Selain tidak mengetahui adanya kerjasama eksploitasi kebun Koppsa-M dengan pihak ke-tiga, tim penilai juga tidak mendapat data secara komprehensif selama penilaian kebun berlangsung. "Tim penilai juga menyatakan tidak pernah mengeluarkan rekomendasi dari Disbun Kampar bahwa kebun Koppsa-M gagal dibangun."
Menurutnya, langkah hukum yang ditempuh PTPN ini karena sebagai perusahaan negara harus mendapat kepastian hukum atas biaya pembangunan kebun, meski telah disakiti oleh anaknya sendiri.
"Saya melihat, KopsaM ini seperti anak durhaka kepada orang tuanya. Sudah dibantu, dilunasi hutangnya, sekarang melawan balik," sebut Ganda.
Senada, Kepala Desa Pangkalan Baru Yusri Erwin menilai putusan Majelis Hakim tepat adanya. Bahkan, ia mengatakan putusan itu sesuai dengan harapan petani asli Desa Pangkalan Baru.
Putusan tersebut, kata dia, dan diamini para sesepuh desa lainnya, menjadi awal yang baik untuk memperbaiki persoalan dan mengembalikan Koppsa-M sesuai peruntukannya, mensejahterakan masyarakat Desa Pangkalan Baru.
"Kami sudah lelah dengan konflik berkepanjangan ini. Selama ini, kami hanya menjadi alat bagi segelintir orang yang entah dari mana asalnya, yang rakus akan kekuasaan untuk menguasai areal kami. Masyarakat terpecah belah, tidak ada keharmnonisan di desa akibat konflik ini," kata pria paruh baya tersebut.
Untuk itu, putusan tegas dari majelis hakim yang dipimpin Hakim Soni Nugraha itu adalah buah dari doa dan harapan para petani asli untuk perbaikan kepengurusan Koppsa-M dan kemitraannya dengan bapak angkat, PTPN IV Regional III.
Hal mendesak yang harus segera dilakukan adalah transparansi kepengurusan yang ia nilai tak terlihat akhir-akhir ini. Terlebih pasca ketua sebelumnya harus mendekam dibalik penjara.
Transparansi ini penting untuk dikedepankan menyusul gugatan tersebut dilakukan karena ulah dari para pengurus itu sendiri yang enggan membayar cicilan kepada PTPN, padahal perusahaan sebagai bapak angkat sekaligus corporate guarantee telah menyicil hingga hutang tersebut lunas.
"Coba bayangkan jika tidak ada PTPN, dah lama kebun ini disita oleh Bank. Kemarin juga saat di sidang, Pak Hakim mengatakan, tidak akan berdiri kebun ini kalau tidak ada PTPN. Bank mana yang mau mengeluarkan biaya sebesar itu kalau tidak ada penjamin. PTPN lah sebagai perusahaan negara, yang telah membantu. PTPN juga lah yang merealisasikan permintaan masyarakat kita yang dulu memang sejak awal memohon kepada mereka agar membantu membangunkan kebun," tegas dia.
"Makanya saya bilang, kami sedih harus para petani asli yang tidak tau apa-apa harus terseret-seret. Persoalannya sederhana, transparan lah pengurus ini," ujarnya.
"Apa benar tidak sanggup bayar hutang, sementara hasil lahan ada, buah sawit ada, dan bentuk pembayaran pun itu dari persentase nilai penjualan TBS. Sedangkan sekarang ini penghasilan perbulan bisa sampai Rp3 miliar perbulan," lanjut dia.
Majelis hakim dalam putusannya yang disampaikan secara daring melalui e-court, Rabu (28/5/2025) menyatakan bahwa Koppsa-M terbukti melakukan tindakan wanprestasi dalam kemitraan bersama PTPN IV Regional III.
Dalam amar putusannya, pengadilan juga menghukum Koppsa-M untuk membayar dana talangan pembangunan kebun sebesar Rp140.869.808.707 secara tanggung renteng kepada PTPN.
Tidak hanya itu, Pengadilan turut menetapkan kebun Koppsa-M yang bersertifikat Hak Milik (SHM) dan terdaftar di Kantor BPN Kabupaten Kampar dijadikan sebagai jaminan pelunasan hutang pembangunan kebun dan disahkan oleh pengadilan sebagai bagian dari putusan. (***)