- Generasi Gen Z Cinta Lingkungan, Polda Riau Ajak Siswa SMK Labor Tanam Pohon dan Jaga Hutan
- Menteri P2MI Tanam Pohon Gaharu di Mapolda Riau, Simbol Perlawanan Terhadap Perdagangan Orang
- Polda Riau Ungkap Sindikat TPPO, Menteri Karding: Kejar dan Adili Otak Penyelundupan
- Lemdiklat Polri Gelar Sosialisasi Penjaringan Minat dan Bakat Beasiswa S2/S3 LPDP di Polda Riau
- Satgas Gakkum Operasi Patuh LK 2025 Jaring 75 Pelanggaran Lalu Lintas dengan ETLE Mobile
- Dukung Ketahanan Pangan, Lapas Pekanbaru Panen Raya Melon Sebanyak 62 Kg
- Hari Ke 3 Operasi Patuh LK 2025, Ditlantas Polda Riau Intensifkan Sosialisasi dan Edukasi Keselamatan Lalu Lintas
- Telah Berkoordinasi Dengan KBRI, Menteri Karding Pastikan Kabar Jepang Tutup Akses Bagi PMI itu Hoaks!
- Pangkas Angka Non-Prosedural, Menteri Karding Gratiskan Bea Masuk Barang Pekerja Migran Kembali ke Indonesia
- Ajak Generasi Muda Tak Takut Jadi Pekerja Migran, Menteri P2MI: Gaji Besar, Ilmu Bertambah
Anak 8 Tahun Tewas Usai Diduga Dibully, Orang Tua Minta keadilan

Keterangan Gambar : Foto : fn Indonesia
FN Indonesia Pekanbaru - Kasus kematian tragis KB, murid kelas 2 SD Negeri 12 Bulu Rampai, Kecamatan Siberida, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, memicu kemarahan dan kesedihan mendalam dari keluarga korban.
Dalam konferensi pers yang digelar oleh keluarga di salah satu hotel di kota Pekanbaru pada Sabtu (7/6/2025) terungkap berbagai fakta dan kegundahan hati yang selama ini belum tersampaikan kepada publik.
Keluarga membantah tegas diksi yang menyudutkan mereka sebagai orang tua yang lalai. Mereka menjelaskan bahwa almarhum tidak menunjukkan gejala sakit yang mencolok hingga Minggu, 18 Mei.
"Dia masih bermain seperti biasa bersama teman-teman sekolah minggunya. Baru hari Senin (19/6), ia mulai mengeluh, dan itu pun sangat ia tutupi. Dia memang anak yang pendiam, tidak pernah mengeluhkan sakit," ungkap Viator Butar Butar anggota keluarga.
Pernyataan dari pihak tertentu yang menyebut keluarga membawa korban ke tukang urut dan bukan ke dokter dinilai sangat menyakitkan. “Bukan kami yang membawa dia ke tukang urut. Itu saran dari salah satu orang tua pelaku, bahkan dilakukan di rumah salah seorang diduga pelaku, bukan rumah kami,” tegas nya.
Keluarga merasa bahwa tudingan tersebut mengaburkan fokus utama kasus ini, dugaan perundungan dan kekerasan terhadap anak. " Kami hanya ingin keadilan ditegakkan sesuai hukum. Anak-anak tidak bisa ditahan, Kami tahu itu. Tapi Undang-Undang Perlindungan Anak menyebut ada bentuk hukuman dan tindakan lain bagi pelaku di bawah umur. Mengapa itu diabaikan," tandasnya.
Lebih jauh, keluarga juga menyoroti lemahnya tanggung jawab institusi pendidikan dalam mencegah kejadian seperti ini. “Mengapa tidak ada yang membahas tanggung jawab sekolah, Padahal jelas dalam Pasal 54 Undang-Undang Perlindungan Anak, jika terjadi kekerasan, pihak sekolah dan pemerintah daerah ikut bertanggung jawab. Tapi semua menyudutkan kami, seolah kematian anak kami hanya akibat kelalaian pribadi.” tambahnya.
Tidak hanya soal narasi yang menyesatkan, keluarga juga menilai adanya ketidakkonsistenan dalam kronologi yang disampaikan beberapa pihak.
“Laporan disebut masuk tanggal 19 Mei, padahal anak kami meninggal tanggal 26 Mei. Otopsi dilakukan setelah itu. Lalu siapa yang dilaporkan tanggal 19, Kenapa tidak sinkron” ucap Viator penuh tanya.
Meski diliputi duka mendalam, keluarga menyampaikan apresiasi kepada para pengacara yang telah secara sukarela membantu mereka, termasuk dari LBH, organisasi profesi hukum, dan sejumlah relawan yang memberikan pendampingan hukum.
“Sekali lagi kami hanya ingin kebenaran. Kami tidak ingin anak-anak pelaku disakiti. Kami tahu mereka juga anak-anak. Tapi kami juga tahu, ada hukum yang melindungi semua anak, termasuk anak kami yang sudah tiada. Jangan lupakan itu.” imbuh nya lirih.
Pernyataan keluarga ini menjadi seruan keras agar semua pihak, termasuk institusi pendidikan, aparat penegak hukum, dan media, menaruh perhatian serius terhadap kekerasan di lingkungan sekolah yang bisa merenggut nyawa.
"Bukan lagi soal siapa yang salah semata, tapi tentang bagaimana sistem bisa melindungi anak-anak Indonesia dari ancaman serupa di masa depan", harap nya.
Baca Lainnya :
- Program Makanan Bergizi Gratis Disosialisasikan Bersama Komisi IX DPR RI di Rokan Hilir0
- Momen Idul Adha, Pertamina Patra Niaga Wujudkan Kepedulian Sosial Lewat Penyaluran 127 Hewan Kurban0
- Bandara Internasional SSK II Pekanbaru Serahkan Hewan Kurban dan Gelar Sholat Iduladha Bersama Masyarakat0
- Program Makan Bergizi Gratis Disosialisasikan di Rokan Hilir, Dorong Terwujudnya Generasi Emas 20450
- Kapolda Riau Lepas Ratusan Hewan Kurban, Diharapkan Perkuat Keimanan dan Kepedulian Sosial0
Sementara itu ditempat yang sama orang tua korban, Gimson Butar Butar menegaskan bahwa selama ini korban tidak pernah mengeluhkan sakit, dan dia termasuk anak yang aktif, namun setelah ada nya kejadian tersebut terjadi perubahan drastis terhadap dia (Almarhum KB)
Dan segala upaya sudah kami lakukan termasuk membawa korban kerumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis, hingga akhirnya almarhum menghembuskan napas terakhir.
"Saya saksi kunci anak saya tersebut. Sebelum beliau meninggal saya sudah tanyakan langsung kepada anak saya tersebut, dan dari pengakuan nya, dia mengaku telah ditendang dan dipukul oleh para pelaku. Jadi disini saya minta keadilan agar semua menjadi terungkap bahkan sampai kepada Bapak Presiden Prabowo, Tolong!, jangan biarkan hal seperti ini terulang,” ujar Gimson dengan mata berkaca-kaca.
Sementara itu, Kasubbid Dokpol Bidokkes Polda Riau, AKBP Supriyanto, menyampaikan hasil resmi otopsi tersebut dalam keterangan pers. Ia menjelaskan bahwa pada tubuh korban ditemukan sejumlah luka memar, terutama pada bagian perut sebelah kiri. “Kami menemukan memar pada perut kiri serta memar-memar lainnya yang menunjukkan adanya trauma tumpul,” ujar AKBP Supriyanto.
Lebih lanjut, tim forensik menemukan adanya perforasi atau kebocoran pada usus di bagian kanan perut. Kondisi ini menunjukkan bahwa usus buntu korban telah pecah dan menyebabkan infeksi luas di rongga perut (peritonitis). Infeksi inilah yang kemudian berkembang menjadi infeksi sistemik (sepsis), yang berujung pada kematian korban.
“Penyebab kematian kami simpulkan akibat infeksi sistemik yang disebabkan oleh pecahnya appendiks, sehingga terjadi peradangan dan infeksi menyeluruh dalam rongga perut,” jelas AKBP Supriyanto, Kasubbid Dokpol Bidokkes Polda Riau. (***)
Editor: Ferdian Eriandy